Catatan Kampanye Pilpres 2014: Konsolidasi Politik Sebagai Kunci Perekonomian Negara

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 5 Juli 2014:
Akhirnya, sampai juga bangsa ini di hari terakhir kampanye pilpres 2014… kampanye yang dibawa dengan strategi emosional oleh kedua kubu, dengan ciri membangun fanatisme bagi idolanya dan di sisi mata uang lainnya menyebar sisi negatif (bahasa halus kebencian) bagi lawannya…

Semoga ini semua adalah bagian dari kompetisi dan konsolidasi demokrasi, yang selanjutnya dapat dipersatukan kembali dalam kepentingan bangsa di atas segalanya…

Dalam wawancara dengan media asing, saya mengatakan bahwa Cina adalah negara yang sekarang kita kenal sebagai kekuatan ekonomi baru, tapi yang mungkin banyak dilupakan momentum Cina menanamkan pondasi perekonomiannya saat ini adalah keberhasilan konsolidasi politik di tahun 1997 memberikan daya dukung struktural kepada kepemimpinan dalam perekonomian…

Momentum krisis Asia tahun 1998, disaat Cina berada dalam konsolidasi politik yang solid menjadikan Cina saat ini dapat menjadi kekuatan ekonomi…

Zhu Rongji menjadi perdana Mentri di Cina dan memulai reformasi struktural kelembagaan dan revitalisasi BUMN (CIC), setelah mendapat dukungan penuh dari faksi-faksi politik yang berseteru di Kongres PKC 1997…

Beberapa dikemukakan di jurnal-jurnal akademik, itulah awal Cina hari ini. Ketika Rongji mendapat dukungan penuh secara politik, meski mungkin ada yang tidak suka dia menjalankan pemerintahan penuh, tapi fakta menunjukan dukungan konsolidasi elit-elit politik di Cina membuat Rongji bisa pidato ‘sediakan seribu peti mati untuk koruptor dan satu untuk saya kalau saya korupsi’, yang kita tau di era ini Cina melawan korupsi secara keras.

Di sisi pengaruh eksternal, ekonomi global, disaat WTO menghantam Cina di tahun 1999 karena ‘industrialisasi plagiatisme’, Rongji bisa pidato ‘kita produksi sendiri, dan konsumsi sendiri, karena kita konsumen terbesar dunia’. Dan, fakta tahun 2001-2002 menjadi awal era manufaktur brand barat di pabrikasi Cina. Itu semua, jelas butuh kekompakan dan dukungan politik dan bangsa yang bersatu, sehingga diperoleh ‘kesetaraan’ ekonomi tanpa anti asing.

Kondisi rebalancing perekonomian global, yaitu saat negara maju menarik kembali dana-dana jangka pendek (hot money) yang sebelumnya dimasukan ke negara berkembang. Itulah yang terjadi di Tahun 1997-1998 yang menjadi krisis moneter di asia. Dimana, Indonesia termasuk yang parah, disaat itu pulalah Cina dapat memanfaatkan momentum dengan mengambil aksi-aksi negara maju tengah kosentrasi dengan ‘capital gain’nya.

Posisi rebalancing perekonomian global itu, menurut saya berpotensi akan terjadi kembali di tahun 2015. Dimana, ciri-ciri penarikan kembali telah kita rasakan dalam volatilitas gejolak nilai tukar Rupiah kita atas USD di 2 tahun terakhir ini.

Dalam beberapa tulisan di blog ini, saya sudah beberapa kali menuliskan kebijakan rebalancing telah tampak dari langkah moneter Bank Sentral Negara maju, seperti the Fed (AS), BOJ (Jepang), ECB (Eropa), dan bahkan PBC (Cina).

Suku bunga sebagai sinyal penarikan dana kembali, telah tampak dari beberapa FOMC The Fed akan dilakukan mulai Januari 2015. Jadi, siapapun pemenang pilpres ini mengalami kondisi lingkungan global yang tak seberuntung pemerintahan SBY yang dalam fase mengguyur dana ‘pancingan’ negara maju ke negara berkembang. Era setelah pilpres ini menghadapi tantangan era penyerapan kembali (rebalancing) dana dari negara berkembang ke negara maju.

Tapi, Pak Prabowo dan Pak Jokowi, siapapun yang menang dalam pilpres 9 Juli 2014 ini, saya sebagai anak bangsa tetap optimis, asalkan konsolidasi demokrasi terjadi dari pilpres ini. Referensi saya, belajar ke negeri Cina bahwa saat titik balik adalah saat yang tepat untuk berinvestasi bagi bangsa baru yang siap untuk jadi kekuatan ekonomi baru.

Cina sendiri saat ini boleh jadi akan berbeda, mereka dalam posisi titik jenuh pertumbuhan (law of Deminishing return), juga Jepang. Kedua negara ini, lekat dengan kondisi fiskal di Amerika Serikat, karena Cina memegang sekitar 22% surat utang AS dan Jepang sekitar 20%, sedangkan sekitar 50% dikuasai The Fed sendiri dari buying program QE nya selama ini.

Jadi, saya menilai, peluang emas merebut pusat pertumbuhan seperti yang Cina lakukan di 1998 akan jadi peluang kita di tahun 2015, asalkan proses pilpres 2014 ini meski keras dan emosional, tapi siapapun yang menang bisa didukung penuh secara politik. Tanpa itu, jika kita lanjutkan saling benci dan tidak kompak, ya kita justru berada dalam kondisi sebaliknya.

Jadi, sebagai anak bangsa biasa saja, saya berharap elit politik negeri ini dapat efektif melakukan konsolidasi demokrasi paska pilpres 2014. Menang dengan bermartabat tanpa merendahkan yang kalah, dan yang kalah meski tidak senang tapi memberikan respeknya kepada pemenang. Semoga saja!

-yanuar Rizky, WNI biasa saja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.