Isu Pilpres dan Pasar: Makan Bakso pakai Sambal

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 12 Juli 2014:
Selepas sahur dan subuh, saya diskusi dengan salah satu klien kami via internet, inilah zaman dimana meeting point meski jarak terpisah dan beda waktu pun bisa diatasi di udara internet :)

Ada yang menggelitik, sekaligus menjadi kekhawatiran (setidaknya bagi saya), yaitu soal ‘country risk’ atau resiko negara ini, terkait dengan konflik sosial.

Ya, tentu pertanyaan adalah seputar urusan sambel dari bakso. Yaitu, mainan isu sebagai penyedap rasa dari bakso yang dimakan dari pasar keuangan.

Sedikit mengulang, di status Fesbuk saya hari Kamis, saya menganalogikan bahwa isu copras capres itu ibaratnya sambel dalam makan bakso, dimana baksonya adalah uang beredar dari bandarnya yang biasa bermain mencetak uang dari cari selisih (gain).

Bandarnya, dalam hal ini seperti saya sering tulis adalah dana-dana likuiditas jangka pendek yang diputar-putar di emerging market oleh kebijakan ‘USD money suply’ dari Bank Sentral negara maju (ini dikenal dengan QE: Quantitative Easing)

Karena, sifatnya keluar-masuk dan terus mutar-mutar sebelum dihentikan operasinya (tapering off), maka dana likuiditas model QE itu membanjiri likuiditas pasar keuangan dan bergerak naik-turun silih berganti. Karena, naik-turun adalah saatnya untuk membayar bunga dari dana itu, atau saatnya ambil selisih untung.

Sehingga, sebuah keniscayaan, jika kita ingin melihat yang namanya pasar keuangan dengan pola trading seperti ini akan mempertontonkan sebuah drama tanpa episode ‘naik-turun’ harga silih berganti. Itu kenapa, banyak yang awam dibuat bingung di hari Kamis IHSG dan saham menguat yang ‘katanya’ sentimen Quick Count Presiden pemenang (versi QC) yang disukai pasar, tapi besoknya Jum’at langsung koreksi lagi.

Pertanyaan itu, tentu saja bisa digoreng, dengan dijawab ‘ini karena masih banyak pertikaian karena real count KPU belum ada, dan kedua kubu klaim kemenangan’. Ya, sekali lagi itulah ‘sambel’, tapi pada dasarnya makan bakso nya adalah money printing dari pola dana QE, saat ini yang mengalir dari Jepang (BOJ), disaat QE The Fed sudah ke fase tapering off.

Jadi, gini analoginya kalau ada bakso tapi ngak ada sambelnya, anda apa akan makan agar kenyang? Saya rasa iya, paling anda akan ngoceh-ngoceh ngak sedep nih ngak ada sambelnya. Sebaliknya, kalau ada sambel tapi ngak ada baksonya, apa anda akan makan sambel? Saya ngak yakin ada akan makan sambel nya saja :)

Banyak yang tanya ke saya, ketika saya mencoba untuk membuat fokus kita ke bakso bukan ke sambel, dengan sebuah keyakinan ‘tapi kan soal copras capres ini ada pengaruhnya?’. Maka, saya sepakat ada pengaruhnya, tapi seperti analogi saya di atas itu penyedap rasa yang menambah anda ‘hot’ dan berselera makan bakso.

Sambel itu kata banyak filusuf tentang ‘cabe’, dimakan pedes itu kapok tapi buat kangen pengen lagi. Kalau kata Dokter, pas anda sakit perut, dia akan tanya ‘semalam kebanyakan makan pedes dan sambel kebanyakan ya?’… Jadi, meski menggugah selera, kalau kebanyakan anda bisa sakit perut. Tapi, ya itu tadi, besok anda cari lagi itu sambel :)

Artinya apa? Isu sebagai sambel di pasar, adalah daya tarik para penikmat kuali gorengan cari selisih (gain) di pasar. Makin banyak anda kasih isu, makin berseleralah menggorengnya.. Dan, kalau ditambah isunya maka jarak selisih (volatilitas) nya akan melebar. Lalu, kalau overdosis bisa diare.

Nah, diare itulah yang kemudian disebut sentimen negatif yang panjang, koreksi harga turun ngak naik-naik lagi. Orang bilang ‘ciri-ciri krisis’. Maka dari itu, karena makan sambel itu nikmat dan suka bablas, banyak orang bilang krisis dalam hal koreksi harga di pasar keuangan tak bisa dihindari, karena itu tadi meski sambel itu pedes tapi senengnya tambah lagi tambah lagi.

Lalu, kalau koreksi karena ‘diare’, setelah sembuh dimana harga turun ke harga terbawah, maka pasar akan balik lagi. Ya, itu tadi, makan sambel buat jadi diare, tapi kalau udah sembuh pengen lagi.

Jadi, saya tau bahwa isu itu penyedap rasa, tapi mengapa saya kosentrasi untuk mengajak publik ‘rasional’ kosentrasi ke baksonya, yaitu uang beredar dari QE Bank Sentral negara maju?

Karena, saya merasa persoalan di pasar keuangan kita yang tipis partisipasi lokalnya (1%), maka asing akan menjadi penggerak pasar dengan keuntungan diambil di selisih nilai tukar USD di pasar uang rupiah. Selisih, naik turun (volatilitas) jika dibiarkan terlalu lebar resikonya biaya bunga ke sektor riil tak akan pernah bisa rendah

Lalu, kalau terus ditambah dosis isunya, maka posisi nilai tukar selalu mengalami resiko pelemahan. Dan, dalam jangka pendek, saat struktur Indonesia net importir, maka faktor kurs jadi inflatoir. Ini artinya resiko kenaikan harga yang diserap masyarakat.

Karena itulah, saya di ruang publik mencoba mengerem soal ‘sambel’ ini. Agar tidak terlalu bernafsu, yang ujungnya kita terjebak sendiri karena overdosis. Dimana, korbannya yang ngak ikutan makan bakso, yaitu rakyat biasa saja yang kebagian cuci piring dari harga-harga yang naik.

Melalui tulisan di blog ini, saya tau, siapalah saya ini :) Saya hanya rakyat biasa saja, yang kebetulan Alhamdulillah diberi kesempatan untuk tau soal pasar keuangan, dan disitu pulalah saya bekerja, yaitu menjadi strategic advisor. Tapi, saya tak pernah punya posisi trading di pasar keuangan, itulah posisi independen-netral saya terhadap pasar.

Meski, saya bekerja membaca pasar tapi saya tak ikut sebagai pemain di pasar, dan itulah pemahaman ‘independen’ yang saya berikan kepada klien. Dan, selalu berusaha untuk menjaga posisi ‘independen-netral’ di ruang publik sebagai etika saya bermasyarakat. Tentu, ada kalanya saya tidak netral tapi tetap independen, yaitu saat saya berhubungan dengan klien saya.

Tapi, selalu saya katakan hubungan profesional kami adalah ‘strategic advisory’ bukan ‘strategic communicator’, dalam arti saya tidak mau dijadikan corong strategik oleh klien saya. Maka, saya selalu menjaga, di ruang publik (media) saya hanya akan menjawab kalau ditanya. Kalau saya ngak ditanya, pengen ngomong, ya nulis aja di blog ini hahahaha :)

Dalam posisi ini, saya sebagai rakyat biasa, dan setelah diskusi dengan klien soal ‘what if scenario’, tentu selalu menyentuh soal alert ‘doomsday scenario’. Apa pula itu kiamat (doomsday) dibuat skenarionya?

Itu adalah sebuah pola yang didorong bandar utama di pasar untuk melakukan untung besarbesaran sehinggap pasar terkoreksi secara masif (doomsday). Pola itu hanya akan terjadi kalau dosis isunya, atau sambelnya memungkinkan dihembus secara over dosis juga.

Di titik ini, ada kekhawatiran saya (semoga salah) melihat setelah Pipres ini selesai, ada kecenderungan kita menjadi bangsa yang konflik.

Suka tidak suka, hasil QC (kalau mau jadi referensi) posisinya tipis. Artinya, hampir separuh-separuh dari wajah bangsa ini adalah separuh wajah Pak Jokowi dan separuh wajah Pak Prabowo. Siapa yang menang, karena tipis, wajar jika keduanya merasa masih punya peluang yang sama.

Karena, proses perhitungan real count di KPU akan juga memasukan unsur verifikasi surat suara, sehingga indikator cepat ala QC bisa juga terkoreksi di persoalan verifikasi surat suara saat sidang pleno.

Itulah mengapa, saya tidap ditanya selalu bilang belum ada ‘permanen confidence’ siapa pemenangnya, dan pemain utama di market sudah sangat berhitung dengan kondisi QC tipis memang harus tunggu real count. Nah, yang masalah adalah disaat menunggu itu, kalau sambelnya kita jadikan leading isu, maka yang enak yang makan bakso tambah bergairah.

Bagi saya, gairah itu bisa ‘over dosis’, kalau perang opini di masyarakat jadi pilihan untuk melegitimasi atau mendelegitimasi proses hukum yang sedang berjalan di real count KPU.

Bagi saya, itu beresiko, karena jika saat KPU mengumumkan di 22 Juli 2014. Ada waktu setelah itu gugatan di MK, makanya ada ruang 2 bulan (Agustus – September) sebelum Presiden terpilih dilantik di Oktober 2014.

Butuh stamina, dan itu memang proses tahapan pemilu yang sah secara hukum. Jika, disaat itu digoreng juga opini untuk jadi alat ‘menekan’ hukum secara berlebihan, saya khawatir di masyarakatnya menjadi mudah tersulut konflik.

Krisis moneter di asia 1997-1998, dimana kita juga kena. Kalau dilihat isu pelemahan nilai tukar besar-besaran karena tersedianya isu konflik di negara-negara asia. Saaat itu, korsel (WON) dan Indonesia (IDR) terkena dampak terparah.

Di Korsel kala itu adalah negara demokratis, tapi terjadi pertarungan antar kelas, yang dipicu oleh diseretnya kasus-kasus Korupsi Presiden terdahulu, oleh penggantinya. Di Indonesia isunya adalah demokratisasi, soal rezim otoriter.

Saat itu, di ASEAN, Thailand juga dilanda krisis politik. Saya agak khawatir, ketika kemarin Thailand mengulang lagi krisis politik (akhir tahun 2013, awal tahun 2014).

Melihat situasi saat ini, sebagai rakyat biasa saya khawatir. Terlebihi, sinyal dana global dari guyuran dana QE tampak ingin dimulai balik arah oleh negara maju, yang dilead dengan rencana kenaikan bunga Fed rate di 2015. Serta, saat yang sama ada dimulainya zona ekonomi Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Itu mengapa, saya berusaha sekuat mungkin netral di pilpres ini. Netral di ruang publik, dan tidak mengemukakan pilihan saya di TPS. Saya juga sebagai warga negara akan menerima siapapun Presiden yang sah meski hanya unggul satu suara tetap Presiden kita semua, dan yang kalah setipis apapun juga pilihan hampir separuh dari teman-teman saya juga.

Menurut saya, posisi ‘mediating variable’ sangat diperlukan bangsa ini sambil sama-sama menghargai proses hukum di KPU, dan moga aja tidak berlanjut saling gugat di MK. Dalam, tahapan itu semua adalah hak hukum yang setara bagi siapapun juga.

Saya rasa, awasi pelaksanaan proses hukum menjadi peran penting timses. Tapi, membawa emosi masa menurut saya bukanlah pilihan bijak negarawan menyelesaikan ‘game theory’ Pilpres 2014.

Ya, ini sekedar curcol aja dari rakyat biasa saja. Kalau setuju, ayo kita kelola sama-sama manajemen resiko konflik yang hanya akan menguntungkan para pencari untung di pasar untuk menambah dosisi sambel berlebihan. Siapapun Presiden nya adalah Presiden kita semua, yang perlu didukung dengan situasi kondusif untuk melakukan konsolidasi politik.

Ingin saya ulang lagi, Cina tahun 1997 sukses mengatasi gesekan politik, kemudian kompak. Dan, 1998 saat rebalancing global dan asia krisis, justru disitulah Cina efektif menerapkan strateginya menjadi kekuatan ekonomi baru yang kita rasakan hari ini.

Jadi, jika Pak Jokowi dan Pak Prabowo (beserta timsesnya) bisa konsolidasi secara damai tanpa hiruk pikuk, insya Allah siapapun yang jadi Presiden bisa efektif memimpin kita untuk bisa seperti Cina di tahun 1998, yaitu menerapkan aksi strategis di 2015 saat terjadi rebalancing dana global.

Semua terserah kepada kita semua, tapi kalau kita menempatkan soal bangsa diatas segalanya, saya rasa soal persatuan bangsa dan kesatuan negeri di atas segalanya. Yuk mari (kalau setuju) kita jadi moderating variable perekatnya, ini soal politik tak perlu diperuncing. Kita awasi dan tunggu siapa Presiden kita yang sah, pada saatnya diumumkan resmi, siapapun itu “Selamat Datang Pak Presiden!”

-yanuar Rizky, WNI biasa saja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.