Memanfaatkan Bumerang Finansial The Fed

-Yanuar Rizky-
Kompas, 31 Desember 2007:
Akhir pekan lalu, 14 Desember 2007, Bank Sentral Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan fasilitas pinjaman langsung berjangka waktu 28 hari kepada pelaku industri keuangan. Dikeluarkannya kebijakan fasilitas pinjaman langsung berjangka waktu 28 hari (term auction facility/TAF) mengonfirmasi bahwa penurunan suku bunga (Fed rate) telah menimbulkan kontraksi terhadap stabilitas makro perekonomian Amerika Serikat (AS) itu sendiri.

Kontraksi tersebut telah disadari Bank Sentral AS (The Fed) sejak awal. Hal itu terlihat dari rentetan sikap The Fed dalam menghadapi gagal bayar kredit perumahan kelas dua (subprime mortage) di sistem keuangan AS (fundamental). Sampai dua bulan pascaterjadinya gagal bayar, The Fed menahan penurunan Fed rate. Tujuannya agar dana tetap berada di AS.

Penyeimbangan fundamental sistem keuangan AS memerlukan tersedianya dana itu sendiri. Jika Fed rate diturunkan, selisihnya dengan suku bunga bank sentral negara lainnya akan melebar. Itu artinya, dana akan mendapat tingkat keuntungan lebih baik di negara lain.

Fakta teknikal tentu bertentangan dengan tuntutan fundamentalnya, dimana di saat krisis yang dibutuhkan adalah dana murah. Itulah konsekuensi dari sistem finansial terbuka, perekonomian tidak hanya ditentukan faktor fundamental (neraca perdagangan) semata. Bahkan,tak jarang persepsi (teknikal) menjadi aura utama dari pembentukan titik keseimbangan perekonomian itu sendiri.

Kasus gagal bayar subprime mortage telah menyeret isu bunga murah menjadi domain politik ekonomi di AS (seperti juga di Indonesia). Itu tercermin dari pernyataan Menteri Keuangan AS, sebelum The Fed menurunkan suku bunganya, yang menyiratkan dampak gagal bayar subprime mortage akan memakan waktu lama.

Terlebih, sinyal ke arah pelemahan kondisi fundamental perekonomian AS telah terlihat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja terhadap 13.000 pekerja sektor properti di AS. Setelah sebelumnya kondisi defisit neraca perdagangan telah menghinggapi perekonomian AS diakibatkan outsourcing pabrikasi industri manufakturnya. Tekanan politik internal itu menekan The Fed untuk menurunkan suku bunganya.

Kontraksi teknikal yang akan ditimbulkan dari penurunan suku bunga telah ditempuh The Fed. Di mana, sebelum penurunan Fed rate pertama kali (19 September 2007), Gubernur The Fed (Bernanke) rajin melakukan lobi ke banyak negara (terutama Eropa) untuk mengajak “aksi solidaritas” dari bank sentral negara lain dalam mengatasi gejolak krisis gagal bayar subprime mortage.

Serangan China

Jika kita cermati peta pertarungan di pasar finansial global, penurunan Fed rate 19 September 2007 sebesar 50 basis poin justru merupakan titik awal terjadinya perang moneter antarnegara itu sendiri. Perang tersebut tak bisa dihindarkan karena Bank Sentral China (PBC) justru menaikkan suku bunganya sebesar 28 basis poin di saat hampir bersamaan.

Perang moneter antara The Fed dengan PBC bukanlah hal pertama. Sebelumnya, ketika mini krisis tahun 2005, hal itu juga terjadi. Kejadian 2005 dengan 2007 memiliki kesamaan, yaitu diembuskannya skenario terburuk (doomsday scenario) gejolak harga minyak. Kalau saja kita cermat, benang merah gejolak tersebut secara teknis dipicu oleh perang moneter kedua bank sentral tersebut.

Tahun 2005, posisi menyerang ada di tangan The Fed dengan politik rate tinggi untuk menyerap likuiditas dari negara lain kembali ke pasar finansial AS. Berbeda dengan 2007, posisi menyerang berada di PBC, ditandai dengan tantangannya menaikkan suku bunga dan kerja sama regional dengan Bank Sentral Jepang (The Renewed Currency Swap Agreement: Tokyo, 20 September 2007).

Meski posisi The Fed berbeda, ada yang sama antara fakta 2005 dengan 2007, yakni diterapkannya jebakan off side di lapangan finansial di titik yang sama (gejolak harga minyak dunia). Saat ini, dengan dikeluarkannya TAF, posisi serangan China tampaknya masih di atas angin.

Hal itu terlihat dari (1) instrumen TAF dikeluarkan The Fed dengan menggandeng bank sentral negara Eropa yang merupakan “contekan” dari langkah PBC dengan Jepang; (2) meski menurunkan Fed rate sampai ke 4,25 persen, The Fed membuka peluang dana kembali masuk ke AS dengan penerapan sistem lelang (bid auction) untuk suku bunga TAF dari
Angka minimum 4,17 persen.

Posisi tertekannya The Fed di lapangan finansial 2007 juga terlihat dari rekening cadangan devisa (reserve) itu sendiri. Sebelum menurunkan Fed rate, The Fed sebenarnya telah menempuh instrumen yang mirip dengan konsep TAF, yaitu menurunkan tingkat bunga diskonto jangka pendek. Faktanya, saat itu jumlah penarikan kredit musiman (seasonal credit) tidak signifikan di rekening The Fed.

Hal itu terlihat pula dari naiknya primary credit setelah patokan bunga jangka menengah (Fed rate) diturunkan, yang sekaligus mengonfirmasi bahwa gejolak finansial di AS saat ini merupakan masalah fundamental, bukan jangka pendek (financial netting).

Kontraksi serangan PBC dengan memperlebar selisih suku bunga membuat The Fed terpaksa meningkatkan jumlah kontrak repurchase order (RePO–surat berharga yang dijual untuk dibeli kembali) dan surat berharga yang diserahkan untuk diperjualbelikan oleh dealer(securities lent to dealer). Hal itu merupakan faktor penawaran yang juga menjadi pengurang cadangan devisa AS.

Tak usah heran jika selanjutnya penurunan Fed rate kedua kalinya direspons dengan penurunan indeks bursa New York (NYSE). Yang terjadi adalah, AS sudah mengandalkan financial netting sebagai sumber cadangan devisanya, yakni posisi menaik pascapenurunan Fed rate (19/9/07), mengalami penurunan di pekan terakhir (26/10/07), dan langsung naik di awal pekan berikutnya (29/10/07).

Menjelang pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) The Fed terakhir (31/10/07), pola NYSE semakin fluktuatif. Posisi menurun terjadi pada 30/10/07 seiring beredarnya spekulasi tidak diturunkannya Fed rate dan naik kembali saat pengumuman penurunan 25 poin suku bunga di hari berikutnya (31/10/07).

Hal itu tercermin dari posisi menaiknya cadangan devisa di rekening reserve The Fed (1 November 2007) bersumber dari financial netting pasar finansial, yang menunjukkan peningkatan angka kontrak RePO yang telah dieksekusi kembali oleh The Fed (reverse repurchase agreement).

Kalau kita runtut kejadian di rekening The Fed, sangat jelas bahwa AS tengah “keteteran” menghadapi serangan China. Jika banyak pihak mengatakan bahwa ketidakpastian perekonomian dikarenakan pelemahan ekonomi AS, saya cenderung mengatakan bahwa faktor China memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” lebih dominan sebagai penyebabnya.

Kenapa TAF dipilih The Fed? Jawabannya terlihat dari rekening The Fed (13 Desember 2007) yang menunjukkan posisi “keteteran”. Itu terlihat dari berkurang banyaknya instrumen finansial sebagai penyebab berkurangnya cadangan devisa AS sebesar 5,6 miliar dollar AS dibandingkan dengan pekan sebelumnya (5 Desember 2007) dan 1,3 miliar dollar AS dibandingkan dengan tahun lalu.

Kalau dilihat dari terus naiknya cadangan devisa negara Asia, di mana China terbesar, dapat diproyeksikan bahwa financial netting dari kontraksi kebijakan moneter The Fed diserap PBC. Terlebih, PBC menerapkan strategi disiplin pertahanan sebagai antisipasi serangan balik The Fed, yaitu dengan memperketat kontrol administrasi transaksi forward (20 November 2007).

Strategi Indonesia

Dari peta pasar finansial di atas, di manakah Indonesia? Kalau kita melihat langkah PBC dari sisi perang moneter, maka menaikkan suku bunga tidaklah berarti perekonomian memburuk. Dari sisi ini, langkah BI menurunkan suku bunga 25 basis poin (Desember 2007) justru mengundang tanya.

TAF akan dikucurkan 20 Desember 2007 dan jatuh tempo 17 Januari 2008, dengan target indikatif 20 miliar dollar AS. Di masa itu, mampukah kita menyerap dananya dan mengendalikan arus baliknya? Jika bunga hasil lelang melebihi Fed rate (4,25 persen), bisa dipastikan dananya akan memicu angin spekulasi lebih kencang. Belajar dari China (2002-2007), rumus manajemen risikonya “menyerap financial netting dan menyalurkannya ke sektor riil”.

Filosofi kepemimpinan “besar risiko-besar keuntungan” akan rasional jika pemimpin tahu ke mana arah bangsanya. Ukurannya “harmonisasi moneter-fiskal tidak akan menempatkan telur di satu keranjang”. Kalau begitu, gejolak finansial sebaiknya diratapi atau diakali?

Semoga kepemimpinan nasional punya jawabannya untuk rakyat. Bukan justru menikmati keadaan gejolak finansial sebagai mesin pendanaan politik dan keuntungan pribadinya (korupsi). Kalau itu yang terjadi, jangan heran bangsa ini terus berselisih. Sebab, hidupnya dari rebutan selisih perantaraan mesin finansial, bukan dari margin mesin
produksi.

Yanuar Rizky Analis Independen Pasar Uang

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.