Kita Dan Bumerang The Fed: Kejarlah Inflasi, Aset Financial Dikumpulkan Warganya

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 20 Juli 2019:
Chairman The Fed Jerome Powell mengatakan dalam testimoninya, bahwa saat ini hubungan antara inflasi dengan penyerapan lapangan kerja (unemployment) sudah tidak ada.

Kata Powell, penyerapan lapangan kerja yang rendah malah meningkatkan inflasi diakibatkan kenaikan upah. Kata dia, The Fed masih mencari akar masalahnya..

Seting inflasi rendah adalah desain kebijakan The Fed era Ben Bernanke untuk keluar dari krisis 2008. Hal itu dilakukan agar penyerapan surat utang pemerintah (AS) yang defisitnya naik karena beban naiknya ongkos (dana) pengangguran yang meningkat

Kemudian, dunia mengenal istilah normalisasi kebijakan QE, yang didahului oleh sinyal pengumuman akan diberhentikannya program QE oleh The Fed di akhir tahun 2011, ketika sinyal penyerapan pengangguran mulai tampak di AS. Tujuanya, untuk kembali membiarkan ekonomi ke sistem pasar

Satu episode setelah tapering-off QE, era normalisasi juga ditandai dengan sinyal bahwa era bunga (Fed rate rendah) akan ditinggalkan. Saat itu, Chair The Fed Yellen dalam testimoninya meyakini untuk menumbuhkan ekonomi AS kembali bergairah, maka inflasi tidak bisa rendah.

Itulah kemudian didorong bunga Fed naik untuk dorong Inflasi, tapi berdampak ke negara berkembang yang disebut Yellen 5 fragile country, sehingga The Fed melakukan jeda kebijakan normalisasi di akhir kuartal 1 (Q1) tahun 2014. (http://rizky.elrizky.net/sinyal-gelas-gelas-kaca-di-papan-catur-politik-ekonomi-negeri)

Lalu, kemudian era Trump sebagai Presiden kontroversial pun datang di Amerika Serikat. Dia menganggap Yellen lembek terlalu memikirkan negara lain, kemudian Trump tidak mencalonkan lagi Yellen, itulah kemudian Powell terpilih menjadi Chair The Fed saat ini.

Saat itu, Trump pro Fed rate naik agar mendorong inflasi, yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi (industri) AS dan penyerapan pekerjaan di AS. Kemudian, menjadi awal era Chair Fed Powell adalah mengirim sinyal memulai kembali kebijakan normalisasi dengan lebih agresif menaikan Fed rate.

Tampaknya, skenario mendorong inflasi naik untuk pertumbuhan ekonomi AS tidak mulus. Sehingga, pekan lalu testimoni Powell seperti dicuplik di awal tulisan ini, menunjukan bumerang bagi The Fed sendiri.

Ya, alasan Powell adalah tingkat upah naik (inflatoir), tapi industrinya stagnan ditandai pertumbuhan lapangan kerja yang tak tercapai.

Kita bisa saja membaca, berarti era jaman now yang apa-apa dikaitlan dengan disrupsi oleh digital ekonomi adalah penyebabnya.

Yaitu, agresifitas dunia teknologi digital mampu memutus banyak rantai proses bisnis, diantaranya menyebabkan kebutuhan tenaga kerja (padat karya) berkurang, tapi ongkos per tenaga kerja yang ahli IT (misalnya) itu mahal (padat modal).

Alam imajinasi kita, bisa saja mengatakan bahwa tingkat upah yang naik (inflatoir) melahirkan kesenjangan karena lapangan kerja (jumlah orang bekerjanya) berkurang. Tentu, imajinasi ini boleh saja.

Tapi, saya punya pandangan lain dengan melihat posisi neraca (aset-hutang/Liabilities) rumah tangga (household) Amerika Serikat, yang saya dapat dari BigData The Fed itu sendiri.

Grafik di atas menunjukan, bahwa di kuartal terakhir (Q-4) tahun 2018 agresifitas naiknya Fed rate ternyata menjadi bumerang.

Yaitu, turunnya selisih bersih (net worth) antara aset atas hutang/Liabilities warga Amerika Serikat.

Jika dilihat, lebih diakibatkan turunnya nilai aset yang signifikan serta diikuti oleh naiknya hutang di sisi lainnya.

Inipun bukan hal baru, karena saya pernah menulis di harian Kompas 13++ tahun yang lalu (22 Februari 2005) bahwa naik-turunnya bunga bank sentral akan berkorelasi terbalik dengan semaraknya pasar modal. (http://rizky.elrizky.net/kejarlah-ihsg-sbi-kutangkap)

Dengan kata lain, bunga acuan yang rendah akan membuat masyarakat gemar main saham, sebaliknya bunga yang tinggi akan berdampak koreksi bursa saham.

Lalu, bukankah tekanan ekonomi AS juga diakibatkan oleh gagal bayar kredit perumahan masyarakat bawah dikarenakan tidak tahan atas kenaikan Fed rate pada tahun 2005-2006?

Dua sinyal, turunnya nilai aset (harga saham) dan naiknya beban hutang memang tampak dalam detil angka penurunan di Q-4 tahun 2018.

Tak heran, di awal tahun 2019 ini Trump mulai nyanyi bahwa The Fed ini gila naikin bunga terus, padahal dulunya pro naik bunga :) Bahkan, sampai mau mecat Chair The Fed Powell segala. Soal main isu, Trump jagonya :)

Bisa dibaca Trump, sama juga dengan warga AS lain cemas nilai sahamnya turun, karena data kelas atas di AS aset terbesarnya di saham, kelas menengah nya di dana pensiun dan reksa dana (mutual fund). Dan kelas bawahnya di real estate (KPR)

Kalau dilihat agregat total sejak era QE sampai normalisasi, data detil pun mengkonfirmasi rasio aset keuangan dibanding non keuangan meningkat.

Jadi kalau kata saya, dengan melihat data struktur aset warga AS, maka jawabannya adalah dikarenakan orang amerika lebih senang mencari pendapatan dari memutar aset di sektor keuangan.

Data menunjukan, pertumbuhan wages (upah) diakibatkan keuntungan dari portpolio di aset keuangan, mereka sudah malas juga pegang aset Riil.

Inilah jebakan off-side investasi dari sisi “paradigma” yang menjadi pekerjaan rumah para central bankers (monetaris) di dunia.

Masalah ini merembet kemana-mana, termasuk menjadi apa yang disebut dinamika global di Indonesia.

Di atas saya sudah capture data yang saya olah terkait household aset-liabilities dalam periode yang saya anggap penting. Dibawah tulisam ini saya sertakan juga periode lainnya, sebagai referensi tambahan drama tiap babak ala Hollywood :)


[Jadi, hati-hati melihat investasi asing, mereka lagi off-side di sektor keuangan. Yang kita butuhkan ke sektor riil. Jadi, turning point ada dalam diri kita sendiri]

#kampanyeBudayaInvestasiLokal
#enjoyAja
-Yanuar Rizky, WNI biasa aja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.