Catatan untuk Presiden Baru: Soliditas dan Kreatifitas Fiskal-Moneter-BUMN

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 17 Juli 2014:
‎Rasanya sudah dua kali saya diundang oleh Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) untuk sharing session terkait kondisi eksternalitas dalam perekonomian Indonesia terkait postur Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2015. Ini adalah struktur di sekretariat jendral DPR, atau staf-staf DPR-RI, yang tugasnya menyusun analisis terhadap Keuangan Negara, yang akan digunakan oleh Anggota DPR-RI.

Dalam kedua kali pertemuan itu, kami berdiskusi cukup tajam. Tapi, kesan yang bisa saya rasakan, bahwa pada akhirnya pembahasan RAPBN selalu kembali ke hal-hal normatif, dan keseruan daya analisis pun hanya ke soalan asumsi makro ekonomi, seperti nilai tukar Rupiah dan Lifting Minyak. Sedangkan, keseruan terkait politik ekonomi yang memicu kebijakan stimulus fiskal dalam mengatur sisi pendapatan dan belanja nyaris hanya sebatas normatif.

Substansi dari APBN adalah alat pemerintah dalam membiayai kegiatan negara, melindungi warga negara dan juga menggerakan ekonomi. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa APBN terserap oleh biaya rutin (birokrasi) penyelenggara negara dan juga biaya sosial terutama subsidi BBM. 

Dalam banyak diskusi yang saya ikuti, dari tahun ke tahun pembahasan RAPBN, selalu berkutat kepada masalah ‘polemik subsidi BBM’. Tak pernah usai, dari dulu isinya cuma itu, dicabut atau tidak, dikurangi atau ditambah. Padahal, jika dibiarkan terus membengak dan menjadi resiko fiskal dari keseimbangan APBN dan realisasinya, tapi jika diamputasi resiko sosial dalam hal perlindungan warga negara juga menjadi resiko politiknya.

Saya selalu berpikir, dan berpendapat, bahwa jika BBM itu polemik, maka dalam APBN harus ada pos jangka pendek untuk mengatasi resiko fiskal, dan jangka menengah panjang ada alokasi untuk mengalihkan di masa depan bahwa secara fundamental postur ‘sandera ekonomi Indonesia’ dilepaskan dari BBM, yaitu merubah barang publik dari BBM nya ke Transportasi Publik.

Disitulah, kemudian polemik dibuat tambah rumit, untuk bangun infrastruktur transportasi publik haruslah dengan amputasi dulu subsidi BBM, agar dananya dipakai. Kenapa tidak pernaah diamputasi saja itu subsidi? Ya, karena sifatnya polemik, selalu kusut oleh asumsi tanpa tindakan!

Mengamputasi tanpa ada kesiapan transportasi publik, baik itu untuk aktivitas individu dan atau logistik dari barang-barang yang dikonsumsi publik (di sisi suply), dan di sisi daya beli masyarakat pun (di sisi demand) mengalami persoalan stagnasi pertumbuhan yang tidak seimbang dengan mahalnya ongkos transportasi publlik. 

Ongkos transportasi itu jadi mahal, ya karena infrastrukturnya tak tersedia. Itulah inefesiensinya, masing-masing menyediakan sendiri alat transportasi, sehingga barang publiknya menjadi BBM itu sendiri. Jadi, dari logika ini, saya rasa variabel intervensi fiskal dari melepaskan ‘subsidi BBM’ adalah menyediakan infrastruktur transportasi publik. 

Dan, variabel moderatingnya dalam masa transisi adalah kreatifitas fiskal, dalam mengatur resiko jangka pendek ‎’sandera harga BBM di pasar dunia’ dan sekaligus menanamkan investasi jangka menengah-panjang untuk setahap demi setahap membangun infrastruktur publik.

Apa itu ‘harga BBM pasar dunia’? Disinilah, mungkin mengapa saya suka diundang dimintai pendapat. Karena, kalau harga komoditas di pasar dunia turun tapi nilai tukar Rupiah atas US Dolar melemah seperti saat ini ya harga impor BBM tetap saja naik. Di sisi lain, jika Rupiah menguat tapi harga komoditasnya juga di pasar naik, maka harga impor BBM juga naik. Apalagi, jika keduanya naik. 

Harga BBM sendiri adalah dari bursa komoditas. Di bursa, tidak selalu karena fundamental tapi juga teknikal dari pemain portpolio. Jika pemain portpolio banyak membeli (bid inisiator) komoditas, maka harga bisa naik. Sebaliknya, jika banyak menjual (ask inisiator), maka harga komiditas akan turun‎. 

Benar, tak selamanya harga karena teknikal, tapi juga fundamental. Yaitu, kalau terkait komoditas, maka kelangkaan suply, baik karena produksi migas (lifting) dunia yang merosot (karena energi yang tak terbarukan) dan atau faktor distribusi logistiknya dikarenakan cuaca, perang, dan atau geo politik. Atau, bisa juga dikarenakan konversi energi, yang mengakibatkan permintaan akan energi fosil menurun.

Dalam faktor ‎fundamental pun, ada hal teknikal yang dapat mempengaruhi kondisiny, yaitu geopolitik di sisi suply dan intervensi kebijakan negara yang tidak ramah terhadap konversi ke energi alternatif (terbarukan). 

Nah, jika anda bicara bursa komoditas sebagai acuan harga komoditas, maka akan berlaku prinsip pembentukan harga di bursa. Yaitu, interaksi antara persepsi teknikal dengan fundamentalnya. Bursa yang wajar, teratur dan efisien dalam setiap Undang-Undang di negara manapun ingin mendorong harga ke arah “fundamental pricing”. Atau, sederhananya “suply-demand” kaum fundamentalis mengalahkan kaum teknikalis di dalam interaksinya di pasar.

Itulah fungsi regulai, pemantauan, pemeriksaan, penyidikan dan penegakan hukum di pasar, yaitu menjaga pasar agar dalam trek fundamental. Hanya saja, dalam banyak riset efficient market hyphotesis (EMH) bahwa pasar yang sempurna itu adalah teoritis, dalam praktek yang membuat pasar (bursa) itu menarik (likuid) adalah sisi-sisi teknikalnya. 

Sehingga, Richard Graso (saat dia menjadi CEO New York Stock Exchange) pernah ‎mengatakan bahwa yang bisa mereka jamin adalah pasar yang dikelola dan diawasi MENDEKATI sempurna, bukan “perfect market”. Hal itu juga diamini oleh Arthur Levit (yang saat itu berposisi sebagai ketua US SEC, otoritas pasar di AS). 

Jadi, jika banyak riset di jurnal-jurnal ilmiah “Finance” masih menempatkan bursa AS sebagai pasar dengan indeks EMH terbaik, itu bukan berarti mereka sempurna, tapi mendekati sempurna. Bahkan, PM India pernah mengatakan jika bursa komoditas AS jadi acuan harga komoditas, maka ‘konflik kepentingan’ otoritas negara tersebut begitu ‘lekatnya’ dengan strategi geo politik dari pemerintahan AS itu sendiri.

Nah, dalam posisi ini, kebijakan The Fed sejak krisis gagal perumahan di bursa new york (subprime)‎ adalah “menggoreng pasar keuangan” dengan jalan mengekspor masalah ke negara berkembang (emerging market). Saat, kebijakannya “investasi” untuk mengendalikan “kuali gorengan” di masa depan, maka arus dana (bid inisiator) deras masuk ke emerging market.

2014-07-17-08-30-52

Grafik di atas, menunjukan pola dana QE The Fed, saat mengalir masuk ke bursa komoditas dan instrumen di emerging market. Saat itulah, Rupiah kuat harga minyak pun turun (2009-2010). Namun, celakanya bagi Indonesia yang mengandalkan ekspor komoditas primer, maka pelemahan USD atas Rupiah dan turunnya harga komoditas menyebabkan nilai ekspor andalan Indonesia pun ikut turun.

Itulah kenapa, di tahun 2009 ‘sandera komoditas primer dalam struktur ekspor’ dilepaskan, agar nilai tambahnya yang menambah posisi keseimbangan neraca perdagangan. Di saat itulah, lahir UU Minerba (yang saat ini heboh), yang melarang ekspor bahan mentah, tapi nilai tambahnya dengan membangun smelter. Itupun, dengan jeda 5 tahun, jadi baru berlaku 2014.

Mengapa seperti Newmon dan Freeport menolak, karena mengumpulkan cadangan komoditas saat murah (beli di harga terbaik) dan menjualnya saat harga terbaik (saat harga di kemudian hari naik) adalah strategi portpolio dimanapun.

Artinya apa, ada kemungkinan harga komoditas naik di masa depan? Jawabannya, tentu saja. Karena aksi jual komoditas saat ini adalah saat dana-dana dari operasi QE merealisasikan untungnya atas ‘buying program’ nya di tahun 2009-2010. Sehingga, saat ini pusat keuntungan ada di US Dolar. Itu kenapa, surat utang kita pun jadi mahal ongkosnya (bunga tinggi), saham volatilitas, dan rupiah atas USD volatilitas dalam tren melemah.

Persoalan kita di APBN lagi-lagi jangka pendek, ketika rupiah melemah meski harga komoditasnya masih stagnan menyebabkan subsidi bengkak. Ke depan, ada kemungkinan “monentum” cross (ekuilibrium) antara mahalnya USD dan naiknya harga komoditas berada dalam posisi ‘law of deminishing return’ dari USD. Yaitu, harga tertinggi sebelum selanjutnya akan turun kembali.

Masa transisi saat USD terus naik, dan juga komoditas yang akan terus juga terus menaik menggantikan ‘kuali gorengan USD’ itulah soal eksternalitas yang jadi ‘hot isu’ dalam diskusi RAPBN 2015.

Saya rasa, era Presiden SBY adalah era ‘global market friendly’, yaitu masa-masa mengalir investasi dana QE (yang durasinya jelas hot money). Sehingga, menerima berkah surplus neraca perdagangan, dikarenakan konsumsi pun harganya turun karena kurs USD melemah. Dan, harga minyak pun kondusif.

Terkait stabilitas, perlu diakui bahwa SBY menanamkan kondisi itu. Tapi, menanam akar di saat sedang ‘kondusif’ dengan melakukan investasi fiskal, agar saat melemah kembali tidak berada dalam ‘polemik yang sama’ itulah titik lemah pemerintahan sebelumnya.

Tapi, jika saya lihat dari diskusi di kawan-kawan yang sehari-hari terlibat proses RAPBN, maka masalahnya ada di proses perencanaan yang lemah, serta kesulitan eksekusi yang tercermin dari lemahnya realisasi. 

Soal ini, jika menyangkut kementrian dan lembaga mungkin hal mudah, tinggal ‘dijewer’ ama Presiden. Tapi, jika itu ada di pemerintah daerah, maka konsep Otonomi Daerah memiki ‘hambatan politis’. Karena, Presiden, Gubernur, Bupati / Walikota adalah hasil dari proses rekruitmen politik yang saling terpisah (independen).

Jadi, siapapun Presiden terpilih soal dukungan politik, yaitu respek meski beda partai menjadi persoalan ‘yang butuh waktu harmonisasi’ di Indonesia. 

Catatan lain, adalah karena kesulitan ini, tampaknya menyebabkan proses penganggaran menjadi miskin kreatifitas fiskal. Sehingga, selalu menjebakan diri kepada ‘polemik’ dan kebisingan ‘power game’ politik yang tiada ujungnya.

Sungguh, harus disadari Presiden terpilih esok, dukungan politik pertama “mutual respek” harus mereka raih dari pihak yang kalah. Rasanya, menghadapi rebalancing global (dana QE Bank Sentral negara maju) yang ditandai rencana (confirm, masih menjadi pilihan FOMC) dengan kenaikan bunga USD di 2015, maka konsolidasi politik harus efisien (cepat), efektif (tepat), dan ekonomis (berbiaya murah). 

Kita tak lagi memiliki kemewahan ‘global market friendly’, dan juga menghadapi resiko kesiapan masyarakat jika dipaksa menyerap pembalikan arah pasar, tentu tidak semudah mengucapkan hapus-hapusan mata anggaran. Tapi, tanpa hapus-hapusan juga tak semudah beretorika yang ujungnya menjadi resiko fiskal APBN.

Atas pertanyaan apa solusinya dari saya di acara diskusi kemarin? Saya menjawab, jika dukungan politik ada, DPR besok lebih “waras”, maka DRP dapat menjadi mediator dari pemerintah dan otoritas moneter. 

Saya bilang, untuk menjaga asumsi kurs misalnya, agar subsidi tidak jebol‎, dalam kondisi pasar yang volatilitas (naik-turun), maka Pertamina, PLN dan revitalisasi BULOG (untuk pangan) yang dalam posisi jangka pendek ‘net importir’ disuruh beli USD Fix rate (sebagai bagian operasi pasar inflasi dari BI yang tepat sasaran). 

Stok USD di harga fix itu, biar BI yang mengatur dalam operasi moneter. Bukan, tidak mungkin BI juga laba moneter, karena ada kalanya pakai stok USD yang dibelinya di pasar di bawah harga asumsi, atau bisa juga di atas harga asumsi. Kalau banyak yang dibawah ya laba moneter, kalau banyak di atas ya rugi moneter. 

BI jelas butuh komitmen politik untuk itu, terlebih dalam dua kali periode Dewan Gubernur mereka mengalami kriminalisasi ‘kerugian negara’. Batasan, operasi moneter seperti itu butuh supervisi KPK, dan komitmen politik DPR-Presiden yang kompak!

Konsep ini pernah juga diutarakan Darmin Nasution saat akhir masa jabatannya sebagai Gubernur BI, dia usul pertamina beli USD ke BI. Entah mengapa, usul ini sampai dimana realisasinya? Tanpa dukungan politik, akan sulit juga bagi otoritas moneter. Tanpa dukungan otoritas moneter akan sulit juga pemerintahan berjalan. Ini catatan agenda harmonisasi struktural ekonomi bagi Presiden terpilih.

Lalu, saya ditanya kenapa sulit? Saya jawab, karena kalau itu dilakukan volaitilitas pasar berkurang, pasar uang mengering. Karena, “lawan terbesar” transaksi “bilateral” dengan BI tanpa melibatkan pasar. Sehingga, kepentingan dari banyak elit yang “cari makan” via mekanisme pasar adalah persoalan etika di negeri ini.

Lupakan dulu itu ya :) Lalu, saya jelaskan, untuk jangka menengah-panjang agar “polemik BBM” selesai, maka saya usulkan non APBN, yaitu revitalisasi BUMN. Saya kira jika Menteri BUMN besok berjalan dari partitur baru Presiden terpilih, maka dalam RUPS setiap BUMN akan diutarakan membangun infrastruktur ketahanan pangan, transportasi dan energi.

Lalu pertanyaannya berarti suntikan modal ke BUMN, kan APBN lagi? Saya jawab, pernah lewat tol arah merak tertulis di billboard “tol ini dibangun dari dana obligasi seri.. Jasa Marga”. Saya katakan, kenapa kreatifitas financing pembangunan jadi hilang di BUMN? Itu adalah struktur keuangan BUMN, bukan dari APBN. Itulah revitalisasi, menurut pemahaman saya.

Akhirnya, mungkin kita perlu memahami ini soal keberanian politik, dan kekompakan sebuah bangsa atas masalah negaranya. Dan, itu tidak mudah. Karena, tidak mudah, kadang birokrasi berjalan “begitu-begitu saja” normatif. Pak Presiden (terpilih), itulah tantangan revolusi mental yang harus dilakukan, dimulai dari kantor Kepresidenan! Semoga saja!

yanuar Rizky, WNI biasa saja yang percaya negaranya luar biasa asal dikelola oleh kekompakan Kepemimpinan yang amanah

rizky@elrizky.net | elrizky.net

2014-07-17-08-29-54

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Comments

  1. […] Saya pun ketika diundang DPR periode sebelumnya, untuk memberi masukan asumsi makro RAPBN 2015, sudah mengutarakan hal itu. Bisa dibaca kembali di artikel ini “Catatan Untuk Presiden Baru: Soliditas dan Kreatifitas Fiskal-Moneter-BUMN” […]

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.