Bandarnomics Dan Harga Minyak

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 5 Desember 2014:
Ketika saya diundang tvOne untuk live menanggapi pengumunan kenaikan harga bensin (BBM), saya mengatakan bahwa sedari awal pemerintahan Jokowi-JK mengeluhkan ruang fiskal terkait program-program infrastruktur yang ingin mereka lakukan. Mental model membuka postur fiskal, yang ada di pikiran maintream, adalah dengan jalan “mengalihkan (merealokasi) anggaran subsidi BBM”.

Saat itu, saya ditanya “tapi, tren harga minyak dunia tengah turun?, karena selama ini kenaikan harga BBM selalu dikaitkan dengan kenaikan harga”. Saat itu, secara singkat saya mengatakan bahwa ini berbeda dengan sebelumnya, yang ingin dilakukan adalah realokasi di APBN. Hanya saja, saya katakan, momentum memindahkan alokasi subsidi BBM sebenarnya bisa dilakukan dengan memanfaatkan harga minyak (harga pasar) yang dalam tren menurun, sehingga bisa tanpa diikuti kenaikan harga BBm di masyarakat.

Banyak yang menangkap pendapat saya dalam framing “pro-kontra subsidi”. Sebenarnya, yang ingin saya utarakan di ruang publik dengan gaya komunikasi “kalkulator sederhana” soal harga bensin di pom bensin (harga konsumen akhir) adalah mendorong proses membantai rentenya. Dengan jalan, memyandingkan angka subsidi per liter di APBN dengan harga per liter di SPBU.

Secara komparasi, saya bandingkan harga premium Oktan 88 di SPBU jika ditambah dengan subsidi per liter, harganya lebih tinggi dari pertamax oktan 92 yang tidak di subsidi. Jadi, apa yang ingin saya dorong adalah “harga wajar” dari sihir pasar soal “harga keekonomian”.

Dalam beberapa bulan lalu, saya sempat berdiskusi dengan seorang kolega birokrat di pemerintahan Malaysia. Kami berdiskusi soal tren harga minyak yang turun, saya katakan kita memasuki “short reverse period” (periode balik arah jangka pendek) yang akan memicu penurunan harga bursa komoditas. karena, “kendali sentimen pasar keuangan” di tangan sang Bandar (Bandarnomics) sedang akan membalikan kuali gorengannya.

Singkat cerita, jika saya mengingat diskusi kami tersebut, maka saya menangkap kesan (analisis) karena harga pasarnya turun, maka terbuka ruang untuk menurunkan harga di SPBU. Disisi ini, Malaysia mengambil momentum untuk melepas subsidi tapi tak menimbulkan gejolak. Kenapa? Karena harga pasar (dimana di Malaysia yang dijual itu oktan 95, setara Pertamax 95) turun, maka subsidi dilepas pun, harga akhir di konsumen tetap dan akan ke arah turun.

Apa poinnya? Pada dasarnya, masyarakat konsumen bersifat “reaktif”. Sepanjang, tidak ada kenaikan, maka subisidi dilepas pun tidak akan jadi “api sentimen”. Hal ini, tampaknya harus dipelajari pemerintahan Jokowi- JK agar memiliki straregiyang cermat “memanfaatkan momentum” di pasar global.

Dalam pikiran saya, juga saya katakan ketika menanggapi pidato Presiden Jokowi soal kenaikan BBM, bahwa ide alokasi fiskal saya setuju (dengan catatan harus dilihat dulu juga, stimulus apa yang ingin digarap, karena belum jelas). Tapi, saya katakan waktu itu, menurut saya apakah untuk memperlebar ruang fiskal harus dengan menaikan harga BBM di masyarakat?

Di tvOne juga metroTV, saya berulangkali mengatakan bahwa asumsi harga pasarnya terlalu tinggi dan tidak wajar, jelas itu rentenya. Artinya apa? Saya ingin mengatakan bahwa kalau harga asumsi pasar (keekonomiannya) bebas rente, maka bisa saja tanpa menaikan harga bensin di masyarakat, akan ada anggaran subsidi direalokasi ke sektor lain.

Gini itungannya, kalau sekarang menurut Menkeu bambang Brodjonegoro (dalam banyak pemberitaan) dikatakan masih ada subsidi Rp1500/liter, maka harga pasar Premium oktan 88 adalah Rp10.000 (Rp8500 dibayar konsumen + Rp1500 dibayar APBN). Angka akhir itu, jelas menjadi lucu ditengah Pertamax92 saat ini harganya Rp9950.

Lebih kucu lagi, di semua negara dengan oktan lebih tinggi (rata-rata 95) saat ini harga minyak di konsumen terus turun, sehingga ada kesan “saat ini pertamax92 juga direm penurunannya” agar tidak tambah lucu mendekati harga premium 88.

Balik lagi ke soal momentum, andai saja Presiden Jokowi mendapat gambaran utuh terhadap “pemetaan perang moneter global” yang dipicu oleh kendali uang beredar (Quantitave easing Bank Sentral Negara Maju, khususnya The Fed), maka strategi melepaskan “sandera subsidi BBM terlalu besar” bisa ditempuh dengan cerdik!

Dalam beberapa pemberitaan, Pertamina mengakui Premium saat ini harga keekonomiannya sekitar Rp8450, tapi Pertamina berkilah bahwa harga rata-rata setahunnya masih tinggi. Kalau saya jadi “pembisik Jokowi”, maka saya akan katakan subsidi kita kurangi jadi Rp1500, tapi harga Premium tetap saja (Rp6500) ada “saving” sekitar Rp500 untuk nutup rata-rata harian yang sebelumnya tinggi.

Jadi, andai saja lebih cerdik, yang diumumkan adalah pengurangan subsidi bukan kenaikan harga BBM. Bahkan, bisa saja diikuti pengumuman penurunan harga seperti yang dilakukan Malaysia. Ini bukan berarti di masa datang harga tidak akan kembali naik. Jadi, kalau Malaysia misalnya ambil momentum hapus total subsidi saat harga turun, maka kita misalnya saja menerapkan “fix subsidi” di angka Rp1500 itu misalnya, sehingga kalau besok harga keekonomian naik ya naik / turun akan menyesuaikan otomatis.

Kenapa soal momentum untuk cerdik ini hilang? Sekali lagi, seperti sering saya utarakan “ini bukan hanya sesimpel pro-kontra subsidi BBM”, tapi mark up dan ketidakjelasan harga pasar BBM bersubsidi itu sendiri. Masalahnya ada di pemberantasan rente mafia migas. Bahkan, di metroTV ketika satu forum bersama Menteri ESDM Sudirman Said, saya secara radikal menyatakan “kalau sulit, hapuskan aja premium, ganti pertamax 92, dengan harga saat ini di SPBU dan subsidi pemerintah Rp1500, maka harga Rp8500 itu sudah dapat oktan92”.

Akhirnya, saya ingin menunjukan sebuah grafik yang menghubungkan antara program “pembandaran pasar” melalui instrumen moneter The Fed, sangat terkait dengan pola harga minyak. Dimana, dana stimulus The Fed dimasukan untuk membeli komoditas, dan saat The Fed membalik kualinya dan menarik kembali dananya (tapering off), maka harga menurun.

QEdanMinyak

Saya pun ketika diundang DPR periode sebelumnya, untuk memberi masukan asumsi makro RAPBN 2015, sudah mengutarakan hal itu. Bisa dibaca kembali di artikel ini “Catatan Untuk Presiden Baru: Soliditas dan Kreatifitas Fiskal-Moneter-BUMN”

Kalau lihat soal QE The Fed juga bukan baru pertama, dulu tahun 2007 ada program TAF-TALF-TARP, soal ini juga saya sudah menulisnya di tulisan akhir tahun (desember 2007) di harian Kompas yang bisa dibaca di artikel ini “Memanfaatkan Bumerang Finansial The Fed”

Kalau dilihat grafik di atas, ketika TAF-TALF-TARP berjalan harga minyak juga naik. Dan, kemudian turun drastis ketika program itu dihentikan The Fed akibat tekanan Kongres AS di bulan Juli-Agustus 2008, yang kemudian memicu crash (krisis finansial) di September 2008. Setelah itu QE1-QE3 dimulai, tapi pola yang sama tampak lagi, begitu pula ketika QE diberi sinyal akan berhenti. Dimana, saat ini telah berhenti (tapering off), maka realita hari ini ya terpicu (kembali) harga minyak yang terus menurun.

Tampaknya, momentum pola bandarnomics ini kurang cermat dibaca pemerintahan baru. Semoga saja, gol “berbau off side” untuk mengalihkan subsidi BBM jadi pelajaran berharga. Ojo kesusu kata orang jawa, jangan buru-buru menganggap satu-satunya jalan meengalihkan dan meembuka ruang fiskal itu hanya dari satu saja variabel, yaitu menaikan harga bensin di konsumen akhir. Karena, jika momentumnya ada kita bisa mencetak gol indah, tanpa disertai “berbau kontroversi offside” berupa kepanikan (reaktif) di masyarakatnya.

-yanuar Rizky, WNI biasa aja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.